Sunday 25 February 2018

Redefinisi Bahaya Limbah dan Radiasi Nuklir

Oleh: R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. (nuclear engineer)

Sejak pertama kali digunakan untuk keperluan sipil, energi nuklir tidak pernah lepas dari polemik. Sebagian kalangan menyuarakan kekhawatiran terhadap satu atau lebih dari aspek melekat pada energi nuklir. Sebagian lain menentang habis-habisan, bahkan sampai melakukan berbagai hal untuk mencegah ekspansi energi nuklir lebih lanjut. Yang terakhir ini dilandasi berbagai alasan, tapi semuanya bermuara pada usaha menghapus energi nuklir dari muka bumi ini.

Dua hal yang dijadikan sebagai polemik oleh kalangan-kalangan tersebut adalah limbah nuklir dan radiasi nuklir. kalau dikerucutkan, maka polemik paling utama ada pada radiasi nuklir. Sebab yang dikhawatirkan dari limbah nuklir adalah sifatnya yang radioaktif, memancarkan radiasi. Radiasi nuklir inilah yang dijadikan legitimasi untuk mengkhawatirkan bahkan menolak pemanfaatan energi nuklir.

Perubahan iklim menuntut dunia untuk melakukan restrukturisasi energi. Sumber energi yang selama ini berasal dari energi fosil seharusnya dikonversi menuju energi bersih. Dari berbagai opsi energi bersih yang tersedia, energi nuklir adalah yang paling mampu diaplikasikan dengan cepat, efektif, murah dan membutuhkan paling sedikit penyesuaian terhadap infrastruktur pendukung. Energi nuklir adalah kunci mitigasi perubahan iklim. Penentangan terhadap penerapan energi nuklir sama saja menyetir planet ini pada kegagalan mencegah bencana iklim.

Terhadap kalangan yang secara gigih menentang energi nuklir, rasa-rasanya tidak banyak yang bisa dilakukan. Apalagi bila gerakan tersebut dilandasi “ideologi hijau” atau malah climate change denier. Tidak peduli seberapa banyak data sahih yang ditunjukkan, kecil kemungkinan mereka akan berubah. Sebab kepentingannya sudah berbeda. Namun, bagi mereka yang baru sebatas mengalami misinformasi, tidak ada salahnya untuk melakukan redefinisi terhadap bahaya limbah nuklir dan radiasi nuklir.

Bagaimana maksudnya mendefinisikan ulang? Bila selama ini publik memahami limbah nuklir dan radiasi nuklir dari sudut pandang tertentu, maka sekarang waktunya untuk melihat dari sudut pandang lain yang lebih komprehensif. Karena melihat sesuatu tidak secara utuh hanya membawa seseorang pada kesimpulan yang keliru.

Mari melakukan redefinisi dari kata “bahaya” itu sendiri. Bahaya biasanya diasosiasikan dengan risiko. Jika risiko tinggi, maka sesuatu itu dikatakan berbahaya. Sebaliknya, risiko rendah berarti bahaya dianggap rendah. Hanya saja, masyarakat selama ini menganggap risiko adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Sebenarnya tidak. Risiko adalah dampak x probabilitas. Seberapa besar dampak yang mungkin ditimbulkan dan seberapa sering kemungkinan hal membahayakan tersebut dapat terjadi.

Seandainya suatu peristiwa memiliki dampak yang tidak terlalu parah, tetapi frekuensinya sangat sering atau peluangnya sangat besar, maka sudah barang tentu risikonya juga besar. Sebaliknya, sebuah kejadian yang sangat berbahaya ketika terjadi, tetapi peluang terjadinya sangat kecil bahkan nyaris tidak ada, maka berarti risikonya kecil.

Pihak-pihak yang menjadikan limbah nuklir dan radiasi nuklir sebagai polemik keliru dalam memahami konsep risiko. Maka wajar jika pemahamannya pun ikut keliru.

Redefinisi berikutnya adalah soal bahasa. Selama ini, bahasa yang digunakan adalah bahasa kualitatif, bukan kuantitatif. Padahal bahasa kualitatif rentan disalahgunakan dan lebih berbau politis. Padahal sains nuklir adalah perkara ilmiah. Bicara soal potensi bahaya dari limbah dan radiasi nuklir, bahasa yang digunakan harusnya kuantitatif. Menggunakan angka, bukan kata kerja.

Seberapa besar risiko dari limbah nuklir dan radiasi nuklir?

Dari sektor energi, limbah nuklir terdiri dari produk fisi dan, dalam skala lebih kecil, elemen transuranik (neptunium, plutonium, americium, curium dst). Sebagian limbah ini memiliki umur paruh panjang, hingga ribuan bahkan jutaan tahun. Artinya, dalam rentang waktu tersebut, limbah nuklir akan terus memancarkan radiasi, walau intensitasnya terus berkurang secara eksponensial.

Yang dikhawatirkan dari limbah nuklir adalah jika limbah ini mengontaminasi lingkungan. Jika entah bagaimana caranya kontaminasi limbah ini masuk ke dalam tubuh manusia, maka limbah nuklir ini akan membahayakan manusia. Dalam bentuk apa? Utamanya adalah radiation-induced cancer yang dapat berujung pada kematian.

Pertanyaannya, seberapa besar probabilitas kematian akibat radiation-induced cancer itu bisa terjadi?

Prof. Bernard Cohen dari University of Pittsburgh, dalam buku The Nuclear Energy Option, mengkalkulasi kemungkinan terjadinya kematian akibat kebocoran limbah nuklir yang dikubur di Yucca Mountain. Hasilnya, peluang terjadinya kematian akibat kebocoran limbah tersebut adalah 0,0014 kematian pada 13 juta tahun pertama dan 0,0018 kematian dalam jangka waktu tak terhingga. Dalam bahasa awam, tidak ada peluang seseorang dapat mengalami kematian karena radiation-induced cancer yang berasal dari kebocoran limbah radioaktif.

Apa sebabnya? Lapisan pertahanan limbah radioaktif berlapis. Menurut Prof. Cohen, setidaknya ada tujuh lapis pertahanan dari sistem penguburan limbah nuklir. Lapisan-lapisan tersebut adalah Lapisan itu terdiri dari (1) Ketiadaan air tanah pada lokasi repositori limbah; (2) Batuan yang tidak larut oleh air; (3) Material penyegel berupa tanah liat; (4) Material casing kontainer limbah yang tahan korosi; (5) Material limbah dalam bentuk kaca yang tidak larut oleh air; (6) Waktu sangat panjang agar air tanah bisa mencapai permukaan, dan (7) Filtrasi dari bebatuan.

Seandainya limbah nuklir dikubur di lokasi lain yang mungkin lapisan pertahanannya tidak sekuat Yucca Mountain, maka orde kematian yang disebabkannya tidak akan berbeda jauh. Kenaikan orde probabilitas hingga 100x pun masih menghasilkan angka yang sangat rendah. Bandingkan dengan angka kematian prematur yang disebabkan polusi PLTU batubara, yang menurut UNESCO mencapai satu juta orang tiap tahun!

Hingga saat ini, tidak ada satupun orang yang pernah sakit, terluka, apalagi tewas dalam pengelolaan limbah nuklir. Pengelolaannya dilakukan dengan profesionalitas melebihi industri energi manapun.

Maka kemudian muncul pertanyaan. Menilik hal-hal di atas, lantas apa yang menjadi alasan kekhawatiran terhadap limbah nuklir?

Yang kedua soal radiasi nuklir. Topik tentang radiasi adalah Tier 1 dari polemik tentang energi nuklir. Radiasi nuklir (dalam hal ini radiasi gamma) tidak dapat dilihat maupun dirasakan. Namun, dalam dosis tertentu, radiasi ini dapat menyebabkan kanker bahkan kematian. Inilah yang kemudian menimbulkan ketakutan di benak masyarakat. Fear of the unknown.

Radiasi nuklir dianggap berbahaya dari sononya. Karena itulah regulasi terhadap radiasi nuklir diatur secara ketat. Model linear no-threshold (LNT) pun digunakan untuk mengkuantifikasi bahaya radiasi nuklir. Walau kenyataannya, model LNT tidak pernah terbukti di dunia nyata dan melebih-lebihkan potensi bahaya radiasi.

Realitanya, kalau kita berbicara soal risiko dari radiasi nuklir, maka bahaya ini harus dikuantifikasi. Kuncinya satu: dosis radiasi. Seberapa besar dosis radiasi yang cukup besar untuk menyebabkan masalah pada tubuh manusia?

Model LNT tidak mengenal adanya batas dosis radiasi aman. Hal ini bertentangan dengan sains. Selalu ada batas aman untuk apapun. Tubuh manusia memiliki mekanisme pertahanan dan pemulihan terhadap ancaman yang masuk. Radiasi gamma dapat merusak sel tubuh, tetapi tubuh manusia juga dapat melakukan pemulihan terhadap sel yang rusak. Dari sini jelas bahwa model LNT tidak layak digunakan untuk mengkuantifikasi bahaya radiasi nuklir.

Kembali pada pertanyaan sebelumnya, dosis radiasi mana yang cukup besar untuk bisa dilihat dampaknya pada manusia? Prof. Wade Allison dari University of Oxford menyatakan bahwa tidak ada dampak radiasi nuklir yang menyebabkan permasalahan tampak dibawah dosis 100 mSv/tahun. Bahkan beliau mengajukan nilai batas dosis hingga 100 mSv/bulan. Senada dengan Prof. Allison, publikasi World Nuclear Association juga menyatakan tidak ada dampak radiasi nuklir yang bisa diidentifikasi pada dosis lebih rendah dari 100 mSv/tahun.

Nilai 100 mSv/tahun itu dua kali lebih tinggi dari nilai batas dosis yang ditetapkan US Nuclear Regulatory Committee dan lima kali lebih tinggi dari nilai batas dosis yang ditetapkan Bapeten, keduanya untuk pekerja radiasi. Untuk masyarakat umum, dosis ini 100 kali lebih tinggi daripada nilai batas dosis yang ditetapkan kedua badan regulator nuklir tersebut.

Sebagai catatan, rerata manusia menerima dosis radiasi 2,4 mSv/tahun. Di beberapa tempat, radiasi ini bisa lebih tinggi atau lebih rendah. Di Bangka, khususnya di daerah yang mengandung pasir monasit, dosis radiasinya pasti lebih tinggi daripada di daerah lain. Tapi nyatanya, masyarakat di sana baik-baik saja. Bahkan, penduduk di Kerala, India, menerima dosis radiasi hingga 70 mSv/tahun karena pasir pantainya mengandung thorium dalam jumlah melimpah. Tapi mereka hidup baik-baik saja!

Hal tersebut kalau ditinjau dari segi dampak. Selama manusia menerima dosis tidak lebih dari 100 mSv/tahun, maka sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan dosis lebih tinggi dari 100 mSv/tahun pun belum tentu secara otomatis langsung jadi sangat berbahaya. Acute radiation sickness pun baru bisa terjadi dalam dosis lebih dari 2000 mSv dalam waktu paparan singkat.

Pertimbangkan seperti api. Jika api membakar secara tidak terkendali, maka kerusakan yang ditimbulkannya tidak main-main. Tapi jika api itu kecil dan dikendalikan, maka api tidak akan membahayakan manusia.

Itu dari segi dampak. Dari segi probabilitas, bagaimana seseorang dapat mengalami acute radiation sickness karena energi nuklir?

Probabilitasnya pun kecil sekali. Reaktor daya nuklir tidak bisa diakses oleh manusia secara langsung. Kendalinya menggunakan instrumen kendali jarak jauh. Maka, kemungkinan seseorang terkena acutr radiation sickness adalah ketika reaktor mengalami kerusakan dan melepaskan radioisotop ke lingkungan.

Seberapa besar potensi pelepasan material radioaktif dari reaktor daya nuklir ke lingkungan?

Dr. Alexander Agung, ketua program studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, menjelaskan bahwa, dalam konteks PLTN, probabilitas terjadinya kegagalan dinyatakan dalam satuan kejadian/reaktor-tahun. Angka sebesar 10-3/tahun artinya untuk unit tunggal probabilitas kejadiannya adalah sekali dalam 1000 tahun operasi. Atau jika ada 1000 unit, maka probabilitas kejadiannya adalah sekali dalam setahun. Parameter yang penting adalah core damage frequency (CDF), yang menyatakan besarnya probabilitas kerusakan reaktor yang dapat menyebabkan potensi pelepasan bahan radioaktif ke lingkungan dan large release frequency (LRF) yang menyatakan besarnya probabilitas pelepasan bahan radioaktif ke lingkungan.

Dari pengalaman operasional sekitar 580 reaktor sejak tahun 1954-2011, didapatkan CDF sebesar 7,6x10-4/reaktor-tahun dan LRF sekitar 10-6/reaktor-tahun. Di Swedia, untuk PLTN Ringhals di selatan Gothenburg, sebagai contoh, CDF-nya sebesar 10-6 dan LRF sebesar 10-7, yang artinya probabilitas pelepasan radioaktif dari 1 unit PLTN Ringhals adalah 1 kejadian dalam 10 juta tahun! Padahal masa operasinya “hanya” sampai tahun 2040-an.

Nilai CDF dan LRF yang bisa diterima itu ditentukan oleh badan regulasi nuklir masing-masing negara (di Indonesia adalah Bapeten). Pihak vendor yang membangun reaktor harus menyesuaikan kriteria itu. Dengan kemajuan teknologi, reaktor nuklir tipe baru memiliki CDF dan LRF yang jauh lebih rendah daripada reaktor-reaktor lama yang saat ini sedang beroperasi. Sebagai contoh, reaktor AP1000 yang sedang dibangun di Amerika Serikat dan Cina memiliki CDF sebesar 10-7 dan LRF 10-8, alias sekali dalam 10 juta dan 100 juta tahun.

Berdasarkan penjelasan Dr. Alexander di atas, probabilitas terjadinya pelepasan elemen radioaktif dari reaktor ke lingkungan adalah sangat kecil. Sehingga, kemungkinan twrjadinya acute radiation sickness, atau bahkan sekadar dosis lebih tinggi dari 100 mSv yang berpotensi menyebabkan kanker, juga sangat kecil. Setara dengan atau kurang dari nilai LRF.

Kombinasi dampak dan probabilitas radiasi nuklir ini memiliki implikasi bahwa radiasi nuklir itu tidak semengerikan imajinasi publik maupun propaganda kalangan anti-nuklir. Karena data justru menyatakan sebaliknya.

Redefinisi bahaya nuklir memerlukan pemikiran terbuka, non-dogmatis, serta kejujuran. Menelaah data dan informasi secara kritis dan komprehensif. Ketika itu berhasil dilakukan, maka mudah untuk menemukan bahwa ketakutan terhadap limbah nuklir dan radiasi nuklir itu mengada-ada. Ketakutan irasional yang lebih disebabkan oleh ketidaktahuan.


Sebagaimana dikatakan oleh Marie Skodlowska-Curie, ibu dari sains nuklir, “Nothing in life is to be feared, it is only to be understood. Now is the time to understand more, so that we fear less.”

0 comments:

Post a Comment